Rehabilitasi vs Penjara : Nasib Penggunaan Narkotika Dalam Mata Hukum

 

Apa Itu Narkotika ?

 

Narkotika adalah zat atau obat yang dapat berasal dari bahan alamiah, sintetis, maupun semi sintetis. Zat ini memiliki efek menurunkan kesadaran, menimbulkan halusinasi, serta mempengaruhi daya rangsang. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), pada Pasal 1 ayat 1, narkotika didefinisikan sebagai zat buatan maupun yang berasal dari tanaman yang memberikan efek halusinasi, menurunkan kesadaran, serta menyebabkan kecanduan. Di sisi lain, narkotika juga memiliki pemanfaatan sebagai obat, khususnya untuk menghilangkan rasa nyeri dan memberikan efek ketenangan.

Jenis-jenis Narkoba (Narkotika dan Obat-obatan)

 

Kandungan yang terdapat pada narkoba tersebut memang bisa memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan jika disalahgunakan. Menurut UU tentang Narkotika, jenisnya dibagi menjadi menjadi 3 golongan berdasarkan pada risiko ketergantungan.

Dalam UU Narkotika, narkotika digolongkan berdasarkan risiko ketergantungan menjadi tiga golongan:

Golongan I: Meliputi zat seperti ganja, opium, dan tanaman koka yang memiliki risiko sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, dan hanya boleh digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, bukan untuk terapi medis. Pemakai narkotika golongan I dapat dikenakan pidana penjara paling lama 4 tahun. Sanksi ini untuk penggunaan diri sendiri tanpa izin yang sah.  (Pasal 6 ayat 1 huruf a dan pasal 127)

Golongan II: Terdiri atas sekitar 85 jenis narkotika yang dapat digunakan untuk pengobatan dengan resep dokter, seperti morfin dan alfaprodina, dengan risiko ketergantungan yang tinggi. Pemakai golongan II dikenakan pidana penjara paling lama 2 tahun untuk penggunaan diri sendiri tanpa izin.  (Pasal 6 ayat 1 huruf b dan pasal 127)

Golongan III: Meliputi narkotika dengan risiko ketergantungan yang relatif ringan dan banyak dipakai dalam terapi serta pengobatan. Pemakai golongan III dikenakan pidana penjara paling lama 1 tahun untuk penggunaan diri sendiri tanpa izin.  (Pasal 6 ayat 1 huruf c dan pasal 127)

SANKSI :


Sanksi hukum terhadap pelanggaran terkait narkotika diatur dalam UU Narkotika, antara lain:

  • Untuk pengedar atau bandar narkotika golongan I dengan berat tertentu, pelaku dapat dikenakan pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara minimal 6 tahun sampai 20 tahun, serta denda maksimum Rp 10 miliar ditambah sepertiga.
  • Pengguna narkotika yang tertangkap dengan jumlah di bawah ambang batas bisa dikenakan rehabilitasi, sedangkan yang di atas ambang batas bisa dikenakan pidana penjara sampai maksimal 12 tahun dan denda.
  • Pemberian narkotika golongan I kepada orang lain yang menyebabkan kematian atau cacat permanen diancam pidana mati, seumur hidup, atau penjara 5 sampai 20 tahun dan denda Rp 10 miliar lebih

Permasalahan penyalahgunaan narkotika di Indonesia sangat kompleks dan multidimensional. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Suyudi Ario Seto, menyatakan dalam konferensi pers bahwa sepanjang Januari hingga Oktober 2025 terdapat 38.934 kasus penangkapan terkait peredaran gelap narkotika, yang mencerminkan betapa seriusnya tantangan pemberantasan narkotika saat ini.

Dalam konteks hukum, rehabilitasi dan penjara memegang peranan yang berbeda dalam penanganan penyalahgunaan narkotika. Secara normatif, UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 telah mengakomodasi rehabilitasi sebagai upaya pemulihan bagi penyalahguna narkotika. Rehabilitasi dianggap sebagai langkah yang lebih proporsional dalam mengatasi ketergantungan sebagai penyakit sekaligus memulihkan fungsi sosial pengguna. Pasal 127 UU Narkotika secara khusus memberikan dasar hukum bagi rehabilitasi penyalahguna untuk diri sendiri dengan kriteria tertentu. Sebaliknya, pidana penjara lebih banyak dijatuhkan terutama bagi pengedar dan penyalahguna dengan tingkat keterlibatan yang lebih berat.

Meskipun rehabilitasi diatur sebagai alternatif sanksi, praktik peradilan masih menunjukkan dominasi pidana penjara bagi penyalahguna, dengan data yang mencatat sekitar 90% pengguna narkotika mendapat hukuman penjara. Hal ini menandakan perlunya paradigma hukum yang lebih menempatkan rehabilitasi sebagai pendekatan utama dalam penanganan penyalahguna, sebagaimana juga dianjurkan oleh Mahkamah Agung dan BNN. BNN bahkan menyatakan bahwa pecandu narkotika tidak perlu takut melaporkan diri ke lembaga rehabilitasi karena tidak akan dipenjara, melainkan akan mendapatkan penanganan medis dan sosial yang terintegrasi.

Rehabilitasi memberikan pendekatan humanis dan restoratif, dengan tujuan memperbaiki kondisi kesehatan fisik dan mental serta mengembalikan fungsi sosial penyalahguna. Sedangkan penjara merupakan bentuk hukum pidana yang menitikberatkan pada aspek penghukuman, tanpa langsung menyentuh penyembuhan si pengguna. Rehabilitasi juga dapat diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman jika diputuskan oleh hakim berdasarkan hasil pemeriksaan atas tingkat keparahan ketergantungan.

Menghadapi tingginya angka penyalahgunaan dan peredaran narkotika, penegakan hukum harus seimbang antara aspek penghukuman terhadap pelaku pengedar dan upaya pemulihan terhadap penyalahguna. Pendekatan rehabilitasi yang semakin didorong ini diharapkan mampu menekan prevalensi ketergantungan dan secara efektif memutus mata rantai peredaran narkotika di Indonesia.

Kesimpulan:

Penanganan penyalahgunaan narkotika di Indonesia memiliki dua pendekatan utama yaitu rehabilitasi dan pidana penjara yang berlaku menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Rehabilitasi diatur sebagai upaya pemulihan medis dan sosial yang lebih proporsional dalam mengatasi ketergantungan sebagai penyakit, sekaligus memulihkan fungsi sosial penyalahguna. Sebaliknya, penjara lebih banyak dijatuhkan terutama bagi pelaku pengedar dan penyalahguna berat, namun pendekatan ini kurang efektif untuk menyelesaikan masalah ketergantungan.

Data empiris menunjukkan bahwa mayoritas penyalahguna narkotika masih menerima hukuman penjara, meskipun normatif hukum telah mengakomodasi rehabilitasi sebagai pendekatan utama. Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Mahkamah Agung juga mendorong pemaksimalan rehabilitasi agar penyalahguna tidak hanya dihukum tetapi juga disembuhkan, mengingat rehabilitasi dapat mengurangi tingkat residivisme secara signifikan. Tantangan seperti keterbatasan sarana rehabilitasi dan persepsi hukum di lapangan perlu diatasi agar rehabilitasi dapat berjalan optimal.

Secara keseluruhan, paradigma hukum dan praktik penegakan perlu bergeser lebih menempatkan rehabilitasi sebagai solusi humanis dan efektif dalam memberantas penyalahgunaan narkotika, sementara penjara tetap menjadi sanksi bagi pengedar dan pelaku kejahatan narkotika yang lebih serius. Pendekatan seimbang ini diharapkan dapat mendukung tujuan hukum pidana narkotika yang tidak hanya menghukum tetapi juga memulihkan dan mencegah kejahatan di masa depan.

Referensi : 

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika)

  • Pasal 1 ayat 1 
  • Pasal 6 ayat 1 huruf a 
  • Pasal 6 ayat 1 huruf b 
  • Pasal 6 ayat 1 huruf c 
  • pasal 127

Pengertian Narkoba Dan Bahaya Narkoba Bagi Kesehatan

https://www.hukumonline.com/klinik/a/penggolongan-narkotika-lt5bed2f4b63659/

Scroll to Top